GEMBONG

Gembong adalah manusia tegar, cuek bahkan terkesan orang yang galak, tapi kali ini sangat pengecut jika dihadapkan dengan situasi psikologi anaknya.

GEMBONG

GEMBONG

Kursi bambu depan rumah berderit ketika Gembong menggeser duduknya. Sedari sore tadi Gembong belum beranjak meski senja semakin menegaskan kesunyiannya. Kelam malam menjelang. Lampu lima watt yang memencar di teras rumahnya sedikit membelah gelap senja. Dengingan getar sayap nyamuk tidak mampu mengusik tatapan kosong Gembong. Handphone sesekali ditatapnya, sesekali diraihnya, namun kemudian diletakkan kembali ke meja di depannya. Kegelisahan yang amat sangat menyesakkan dada. Sesekali Gembong menghela nafas panjang kemudian dihembuskan perlahan. Seolah tak ingin temaram senja semakin keruh karena kegelisahannya. 
Nura melangkah keluar sambil membawa secangkir kopi pahit kesukaan Gembong. Sambil sedikit menggeser HP, Nura meletakkan kopi dan sepiring kecil pisang goreng di meja. 
"Diminum dulu kopinya, Pak" kata Nura.
Tanpa jawaban, kesunyian masih menyelimuti keriuhan hati mereka berdua. Siang tadi putrinya  melalui pesan WA berpamitan, serta memohon doa agar dilancarkan dan dimudahkan untuk sebuah urusan. Gembong dan Nura tidak begitu paham urusan apa, yang jelas ada kaintannya dengan perkuliahan. Emilia, putri keduanya adalah mahasiswi kedokteran di sebuah universitas di luar Jawa. Masa akhir perkuliahan yang sibuk dan menegangkan. Gembong kemudian mengingat peristiwa yang diceritakan Emilia tentang proposal yang hilang. Suatu ketika untuk sebuah urusan perkuliahan Emilia harus menyampaikan proposal ke sebuah rumah sakit. Setelah dua minggu seperti yang dijanjikan rumah sakit, ternyata belum diproses oleh sama sekali. Bahkan kemudian rumah sakit menyatakan bahwa proposal Emilia hilang dan tidak ditemukan. Pihak rumah sakit tidak memberikan kompensasi apapun bahkan hanya sekedar kata maaf sekalipun tidak! Betapa kesalnya Gembong, "Manusia tak berakhlak..!" gumamnya. Meskipun urusan proposal sudah selesai namun perkara itu membuang waktu, itulah yang membuat kekacauan psikologis. Hari-hari yang sangatlah berharga bagi Emilia untuk mengejar jadwal yang telah ditentukan oleh pihak kampus.
Nura duduk di sebelah Gembong sambil menyelami keresahan hati suaminya. Namun Nura juga bergelut dengan kegelisahannya sendiri. Lalu nura berkata lirih, selirih dengingan sayap nyamuk,
"Tadi siang Emilia kirim pesan lewat WA, katanya mau minta tandatangan Pak Dekan. Kemarin sore sudah berusaha di kampus tidak berhasil bahkan menyusul ke rumah Pak Dekan tapi tetap belum dapat" cerita Nura dengan suara lemah. Gembong tak bergeming, hanya sedikit mengernyitkan dahi pertanda semakin gelisah pikirannya.
"Lalu kamu respon gimana?" Tanya Gembong.
"Baru sore tadi saya balas, dan sampai saat ini masih centang dua hitam, mungkin belum sempat dibaca, atau...".
"KAU INI...!" bentak Gembong kepada Nura "Tidak perhatian sama anak sama sekali...!"
"Bukan begitu, Nura tadi ada kerjaan, pak"
"Dasar egois.! Anak sedang berjuang engkau biarkan sendirian" ujar Gembong masih dengan nada marah.
" Lha kamu sendiri seharian ke mana saja..! Punya anak nggak diurus..!" Kata Nura tidak kalah ketus.
Senja kembali sunyi, buliran air mata Nura mengalir di pipi. Gembong diam tak peduli, bukan saja karena marah kepada Nura, tapi pikirannya terpaku pada Emilia. Sedang apa Emilia di sana? Sekacau apa suasana hatinya?
"Huff..." Gembong mendengus, melepaskan kekesalannya.   
Lalu dengan ragu Gembong meraih HP. Membuka kunci layar dan memainkan fitur yang ada di layar. Jempol tangan kanan Gembong memainkan naik turun layar HP. Mulutnya terkatup rapat menyembunyikan perasaan, tapi jemarinya tak mampu berbohong bahwa hatinya resah dan galau.
Sejenak kemudian diangsurkan HP ke istrinya. 
"Kamu telepon Emilia" perintahnya. Gembong adalah manusia tegar, cuek bahkan terkesan orang yang galak, tapi kali ini sangat pengecut jika dihadapkan dengan situasi psikologi anaknya.
"Aku tidak sanggup" Nura menjawab sambil mengusap air matanya.
"Kau tanyakan bagaimana urusan tadi siang. Katakan bahwa kita di sini baik-baik saja dan tidak peduli apa hasil urusannya tadi siang. Apapun hasilnya kita tetap bangga kepada Emilia, katakan kepadanya bahwa proses pembelajaran lebih penting dari pada hasil"  ulang Gembong tanpa mempedulikan air mata Nura.
Nura perlahan meraih HP yang diangsurkan suaminya. Layar HP hanya dipandangi sejenak, lalu pandangan matanya dialihkan ke jalan depan rumahnya, sepi, sehening suasana yang seolah mencekam. Parasaan Nura bercampur aduk bukan karena bantakan suaminya, tapi lebih karena pikirannya yang tak bisa lepas dari bayangan kegelisahan Emilia.
"Halloo.." dengan was-was akhirnya Nura videocall ke Emilia.
"Hallo bapak, hallo ibu....." Jawab Emilia dengan nada datar.
"Emilia sudah makan belum?" Nura menyahut sekenanya dengan menahan intonasi dan nada suaranya agar tidak terdengar resah. Nura sedikit menengok agar mata yang masih berkaca tidak terlihat oleh Emilia di layar HP.
"Ya belum, ini saja Emilia baru sampai kosan. Tadi siang pulangnya naik motor di jalan kehujanan. Lupa bawa mantol. Ini baru saja habis mandi keramas. Tapi syukur alhamdulillah semua urusan selesai, sudah mendaftar yudisium dan wisuda..." cerocos Emilia tanpa henti dan jeda. Selebihnya Nura tidak mendengarkan apa yang diceritakan Emilia selanjutnya. Nura sudah tak mampu menahan ledakan emosi kabahagiaannya. Kata "sudah bisa mendaftar yudisium dan wisuda" adalah kata sihir yang mebuat air mata bahagia semakin deras mengalir.
Gembong mendengar jawaban dari HP, lalu meraih cangkir kopi yang sudah dingin. Menyeruputnya sedikit, kemudian melap mulutnya dengan tisu. Sesungguhnya yang terjadi bukannya Gembong ingin meminum kopi, gerakan itu hanyalah utuk menyembunyikan air matanya yang juga mengalir deras. Tisu bukanlah sekedar melap bibir, yang terpenting adalah mampir ke sudut matanya yang basah bercucuran.
Emilia masih bercerita bagaimana proses dia bisa memperoleh tanda tangan dekan, bagaimana dia harus menyelesaikan soal toefl sebagai salah satu syarat wisuda dan masih banyak lagi yang Emilia ceritakan. Gembong telah melalui keresahan hatinya, lalu ia mendekatkan wajahnya ke istrinya agar ikut masuk ke layar HP. Gembong ingin tampil tegar di depan Emilia hingga tak mampu berkata hanya mengernyitkan mata dan menarik bibir ke samping seperti badut sedang beraksi.
"Benar kata mbah Sujiwo Tejo: Cinta itu tak mengenal kemarau senang dan sedih adalah tangisan", gumam Gembong dalam batin. (mo)

Oleh: Satriyatmo

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0