ELIVIA
Ternyata hidup ini tidak harus sesuai seperti apa yang kita inginkan, sebab Yang Maha Kuasa lebih tahu apa yang terbaik untuk diri kita.

ELIVIA
Dulu Elivia adalah gadis yang logis dan realistis. Terkesan cuek terhadap lingkungannya, meski begitu Elivia bukanlah gadis yang bersikap angkuh. Sedikit pendiam dan keras kepala. Tantangan demi tantangan dia taklukkan, Elivia tidak pernah tinggal diam jika di dalam hidupnya datang tantangan menghadang. Merapi adalah gunung pertama dan beberapa kali dia taklukkan, Merbabu, Sumbing dan Sindoro berturut-turut menjadi korban berikutnya. Ambisinya terhenti ketika ditantang oleh Gunung Rinjani, alasan satu-satunya karena orang tuanya tidak mengijinkan Elivia. Orang tuanya khawatir, sebab beberapa tahun sebelumnya Elivia hampir tidak bisa berjalan ketika menaklukkan naga air dengan ekspedisi susur sungai. Berjam-jam kakinya terendam air dan lumpur, menginjak bebatuan tak beraturan. Elivia telah menggunkan sepatu kulit lars panjang namun kakinya tetap penuh luka lecet dan otot kakinya terasa yang sangat nyeri. Susur sungai adalah salah satu program orientasi ketika Elivia akan masuk sebagai anggota pecinta alam di SMAnya.
Selepas SMA, seperti pelajar lain yang baru lulus sekolah pada umumnya mereka memiliki idealisme kuat, begitupun Eliva yang ingin dirinya menjadi dokter. Seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri yang dijajalnya ternyata tidak mebuahkan hasil. Elivia putus asa? Tentu saja tidak. Justru dengan begitu Elivia merasa tertantangan oleh pongahnya perguruan tinggi. Masih ada seleksi bersama masuk perguruan tinggi negri dan juga seleksi mandiri baik negeri maupun swasta. Lima perguruan tinggi negeri, satu perguruan tinggi swasta dan satu pendidikan kedinasan didaftarinya. Dari semua yang didaftari, lima perguruan tinggi negeri talah mengumunkan hasilnya, dan Elivia diterima semuanya, meskipun bukan jurusan kedokteran seperti yang dia inginkan.
"Assalamu'alaikum. Hallo bapak, doain Elivia mau mendaftar lagi. Masih ada perguruan tinggi negeri di Bandung dan Jakarta yang membuka pendaftaran" ujar Elivia kepada bapaknya melalui telephon selulernya. Sejenak Abimanyu terkesiap demi mendapat telepon dari anaknya. Abimanyu paham karakter pejuang dan keras kepala anaknya, namun bagi Abimanyu ini hal yang mengejutkan. Bagaimana tidak mengejutkan, tadi malam sampai pagi, Elivia tidak bilang sepatah katapun tentang ini. Baru setelah Abimanyu di tempat kerja tiba-tiba Elivia meminta izin mendaftar kuliah lagi melalui telephon.
"Elivia..!!!" jawab Abimanyu dengan nada sedikit membantak sebagai tanda emosi yang memuncak. Masih dengan emosinya Abimanyu menyambung percakapan,
"Sekarang Elivia di mana? Bapak mau ketemu untuk bicara" jawab Abimanyu berharap bisa bertemu dengan anaknya untuk berbicara hal yang sangat penting ini tanpa melalui telepon. Abimanyu berfikir bahwa Elivia perlu mendapatkan nasihat, agar tidak membabi buta seperti itu.
"Sudah di dalam kereta api pak, dan ini keretanya sudah mau jalan" Elivia menjawab dengan nada datar. Abimanyu baru menyadari bahwa selama Elivia mendaftar kuliah di beberapa kota tak pernah sekalipun diantarnya. Elivia berangkat sendiri, menginap di kos kenalan atau saudara yang tinggal di kota tempat ujian masuk. Elivia hanya melaporkan, minta izin melalui telepon saja ketika akan berangkat dan setiap kali terjadi perpindahan posisi.
"Elivia..! Apakah memilih salah satu dari sekian banyak perguruan tinggi yang telah menerimamu itu belum cukup?"
"Belum, pak" jawab Elivia masih dengan nada datar bahkan tanpa intonasi.
Emosi Abimanyu memuncak. Berkecamuk dalam pikirannya antara memikirkan Elivia si keras kepala dengan beban pekerjaan yang sedang dihadapinya. Abimanyu berusaha tetap tenang, untuk mengendalikan emosinya Abimanyu mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskan pelan-pelan. Sengaja suara hembusan nafasnya dipelankan agar tidak terdengar oleh siapapun. Ini di tempat kerja, banyak karyawan lain dan tentu suara hembusan nafasnya juga tidak ingin di dengar oleh anaknya.
"Ya sudah, hati-hati" tidak ada pilihan kata selain itu, sembari Abimanyu menutup telepon dengan cepat. Sejenak mata Abimanyu terpejam, bibir nampak bergerak namun tanpa suara, lalu kedua tangannya meraup wajahnya, entah apa yang dipinta Abimanyu dalam doanya.
*
Beberapa hari berlalu, seluruh hasil seleksi telah diumumkan dan Elivia dinyatakan diterima di tujuh perguruan tinggi. Salah satunya fakutas kedokteran, meskipun universitas swasta namun sangat favorit di Kota Jogja. Namun Elivia tidak juga diam tinggal di rumah, masih eksplore entah ke perguruan tinggi mana lagi. Setiap Elivia minta izin kepada Abimanyu hanya dijawab "Ya, hati-hati", template.
"Assalamu'alaikum, bapak. Ini Elivia mau pulang. Tolong dijemput di terminal ya pak" ujar Elivia seperti biasanya, tanpa ekspresi dan seolah tidak pernah terjadi peristiwa yang mengaduk-aduk perasaan Abimanyu beberapa hari belakangan.
"Ya" jawab Abimanyu dengan nada malas.
"Sore, sekitar jam setengah lima ya pak. Bapak nggak lembur khan?'
"Nggak" jawab Abimanyu gantian tanpa ekspresi.
Sore tiba, Abimanyu menjemput putrinya dengan sepeda motor. Elivia setelah salim dan mencium tangan bapaknya langsung membonceng dengan tas gendong yang selalu setia menemani setiap Elivia bepergian.
"Sudah Elivia putuskan, pak. Elivia akan mengambil pendidikan kedinasan saja" tiba-tiba ujar Elivia di boncengan. Sontak Abimanyu menahan air mata, sepeda motor yang kendarainya dipelankan sedikit sebab pikirannya bercampur aduk antara haru, senang, lega bahkan ada rasa sedih juga. Ingin segera Abimanyu memeluk putri sulungnya ini. Kebetulan dipinggir jalan ada warung makan, Abimanyu belok masuk ke parkiran warung makan, turun dari sepeda motor dan bergegas masuk ke warung makan untuk pesan makan.
"Mengapa keputusanmu begitu?" Tanya Abimanyu setelah duduk di warung makan.
"Kuliah di kedokteran swasta ternyata biayanya mahal. Jika bapak membiayai kuliah hanya untuk Elivia mungkin saja bisa, tapi bagaimana dengan adik-adik Elivia. Mereka butuh sekolah dan kuliah juga?"
Abimanyu benar-benar tidak bisa menahan air matanya, Elivia ternyata telah sedewasa ini. Tapi hati Abimanyu juga sebenarnya hancur berkeping-keping. Sebab kerena kondisinya sehingga tidak bisa ikut mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh anak sulungnya.
*
Kini Elivia telah lulus kuliah, telah mendapatkan pekerjaan yang cukup baik, dan sudah membangun rumah tangga dengan suami yang sangat dicintainya. Hidup bahagia.
"Ternyata hidup ini tidak harus sesuai seperti apa yang kita inginkan, sebab Yang Maha Kuasa lebih tahu apa yang terbaik untuk diri kita". (mo)
Oleh : Satriyatmo
What's Your Reaction?






