EUFORIA WISUDA BAGI ANAK SEKOLAH
Wisuda dilakukan sebagai penanda telah berakhirnya sebuah pembelajaran. Umumnya dilaksanakan ketika para mahasiswa selesai dalam menempuh perkuliahan, dan masuk ke jenjang predikat sarjana. Namun belakangan wisuda juga dilakukan pada tingkatan Sekolah menengah atas maupun menengah pertama dan sekolah dasar, bahkan untuk anak yang lulus prasekolah. Euforia.

EUFORIA WISUDA ANAK SEKOLAH
Oleh: Satriyatmo
Memasuki bulan Mei pada setiap tahun selalu nampak aktifitas perpisahan anak sekolah. Diawali perpisahan untuk kelulusan siswa SMA, SMK dan MA kemudian akan disusul siswa SMP atau Mts seterusnya siswa SD sampai dengan anak pra sekolah seperti TK, RA bahkan PAUD. Perpisahan dikemas dalam bentuk ceremoni layaknya pesta pora sebagai tanda pelepasan status kesiswaan dari sekolah. Sesungguhnya sudah ada himbauan untuk tidak melakukan aktifitas tersebut. Bahkan di seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat oleh Kang Dedi sebagai Gubernur telah melarang dengan tegas agar aktifitas study tour maupun "wisuda" bagi siswa ditiadakan. Tentu banyak alasan mengapa himbauan atau bahkan pelarangan terhadap "wisuda" bagi para siswa yang telah lulus sekolah.
Beberapa puluh tahun yang lampau wisuda hanya dikenal saat mahasiswa pada perguruan tinggi lulus menyelesaikan perkuliahan. Namun wisuda bukan monopoli anak kuliahan dijadikan dalih untuk menggelar "wisuda" untuk anak tingkatan sekolah bahkan prasekolah. Secara denotatif dalam KBBI wisuda diartikan sebagai peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Maka secara harfiah wisuda bagi setiap kelulusan apapun tidak ada salahnya. Namun ada beberapa aspek yang mestinya mendapatkan perhatian, terutama dari sisi ekonomi, sosiologi, maupun psikologi bagi siswa dan orang tua.
Dari sisi ekonomi, tentu saja orang tua siswa memiliki latar belakang keadaan perekonomian yang berbeda-beda. Bagi keluarga yang kondisi perekonomiannya kurang beruntung maka acara "wisuda" menjadi beban tersendiri. Taruh kata untuk keperluan "wisuda" siswa SMP menarik iuran Rp. 300.000,- , namun apakah hanya itu uang yang "wajib" dikeluarkan? Tentu tidak, sebab dalam "wisuda" akan "disepakati" penggunaan dresscode. Dengan demikian ada biaya tambahan untuk membeli dresscode yang disepakati atau setidaknya untuk berhemat orang tua siswa bisa menyewa, untuk pakaian adat sewa pakaian antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 200.000,-. Belum lagi untuk siswa perempuan yang membutuhkan make up artistik dengan biaya yang sama seperti sewa dresscode. Sehingga seorang siswa untuk mengikuti wisuda harus mengeluarkan biaya minimal antara Rp.500.000,- sampai dengan Rp. 750.000,- belum termasuk biaya tambahan lainnya, misalnya buket bunga, cetak dokumentasi dan lain sebagainya. Kesemuanya itu ditanggung oleh siswa atau orang tuanya. Sementara setelah kelulusan orang tua masih terbebani biaya anak untuk melanjutkan pedidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dari sisi Sosiologi, bahwa "wisuda" adalah penanda sebuah pencapaian. Namun kelulusan anak pra sekolah dan sekolah bukan merupakan pencapaian akhir. Sebab secara formal mereka harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbeda dengan kelulusan bagi mahasiswa, karena seorang sarjana adalah sosok paripurna di dalam menempuh pendidikan formal. Seorang sarjana telah siap bekerja, siap menjalani kehidupan bermasyarakat dalam pribadi mendiri yang mampu mewakili diri sendiri dalam kehidupan sosial.
Dari sisi Psikologi, saat ini wisuda menjadi sebuah acara seremoni selayaknya pesta yang selalu ada akhirnya. Pesta menjadi acara yang menyenangkan bagi sebagian orang, namun bisa menjadi acara yang menakutkan bagi sebagian yang lain. Bagi yang senang pun sebenarnya hanyalah kesenangan sesaat saja, termasuk seremoni wisuda. Setelah bersenang-senang dengan wisuda, mereka harus dihadapkan dengan kenyataan untuk melanjutkan pendidikan atau bahkan sebagian wisudawan tidak dapat melanjutkan dengan alasan ekonomi atau alasan lainnya. Sebagian siswa lainnya menganggap wisuda menjadi acara yang menakutkan, mulai sejak persiapan menentukan pembiayaan, dresscode, make up, dan persiapan perlengkapan lainnya. Sedangkan pada saat pelaksanaan terlihat nyata kesenjangan dari sisi ekonomi, penampilan, bahkan "prestasi" siswa akan diumumkan di acara tersebut. Biasanya siswa dari kalangan menengah ke bawah memiliki akses yang kecil di dalam parisipasi penentuan kebijakan, namun mereka menanggung beban psikologis yang lebih berat. Beban psikologis selanjutnya setelah wisuda adalah menghadapi realita bahwa "Wisuda bukanlah akhir, ternyata kehidupan perlu perjuangan yang lebih keras lagi". (mo)
What's Your Reaction?






