NGE-PIT

Waktu aku kecil, sepeda bukan cuma urusan bapak-bapak atau mas-mas. Dari mbak-mbak sampai mbok-mbok, bahkan mbah uti pun ngepit (naik sepeda). Aku sering lihat rombongan mbah-mbah ke pasar, bawa rombong di boncengan, isinya sayur-mayur sampai ayam hidup.

NGE-PIT

Nge-pit
Oleh: Ida Luthfi

Belajar naik sepeda adalah momen sakral dalam hidupku. Di kampungku, bisa naik sepeda tuh hukumnya fardu ain—wajib bagi setiap warga negara. Kecuali yang punya cita-cita jadi infanteri, alias ke mana-mana jalan kaki dengan penuh keikhlasan.

Sebagai orang desa, sepeda itu bukan sekadar alat transportasi, tapi simbol status sosial. Pokoknya kalau rumah belum ada sepeda, belum dianggap rumah. Biasanya sih minimal punya satu—yang penting bisa dipakai gantian, asal jadwalnya jangan bentrok sama jam pergi ke warung.

Waktu aku kecil, sepeda bukan cuma urusan bapak-bapak atau mas-mas. Dari mbak-mbak sampai mbok-mbok, bahkan mbah uti pun ngepit (naik sepeda). Aku sering lihat rombongan mbah-mbah ke pasar, bawa rombong di boncengan, isinya sayur-mayur sampai ayam hidup. Yang bikin kagum: mereka pakai jarik dan kebaya! Dengan pakaian tradisional penuh risiko itu, mereka tetap melaju di tanjakan dan turunan tanpa goyah, seakan-akan ban sepedanya disponsori Dewa Angin.

Nah, belajar sepeda zaman dulu itu nggak semudah zaman sekarang. Sepeda anak-anak? Apa itu? Yang ada cuma sepeda orang dewasa—tinggi, berat, dan kadang remnya juga nyangkut. Jadi belajar naiknya harus curi-curi waktu pas sepeda nganggur. Atau pas pemiliknya lagi tidur siang, dan kita nekat kayak maling ayam.

Sepeda dulu juga ada “jenis kelamin”nya. Sepeda perempuan biasanya rangkanya melengkung, sedangkan sepeda laki-laki ada besi melintang dari sadel ke stang, yang disebut planthangan. Nah, karena aku belum cukup tinggi, terpaksa belajar dengan cara nyempil di bawah planthangan. Gaya ini cukup akrobatik, mirip pemain sirkus, hanya saja tanpa jaring pengaman.

Setelah terbiasa, tahap selanjutnya adalah naik ke atas sadel. Tapi karena kaki belum nyampe tanah, kita harus cari “batu start”—bisa batu besar, tangga teras, akar pohon, atau bangku kecil. Pokoknya asal bisa jadi landasan peluncuran. Yang menegangkan bukan cuma saat mulai jalan, tapi justru pas mau berhenti. Kalau nggak nemu pijakan, siap-siap landing darurat dan berpelukan mesra dengan tanah dan sepeda.

Setelah lulus tahap dasar, masuklah ke level advance: belajar ngebut. Ini fase paling seru—ban belakang dikasih slumpring (kulit bambu kering) biar bunyinya nguing-nguing kayak motor trail abal-abal. Nggak puas sampai situ, kita coba gaya ngetril (jalan di medan sulit) dan lepas stang kayak pembalap profesional—walaupun kadang habis itu langsung nyungsep ke semak-semak.

Tapi yang namanya anak kampung, jatuh dari sepeda itu bukan tragedi—itu prestasi! Semakin banyak koreng di kaki, artinya semakin tinggi level keberanianmu. Koreng bukan aib, tapi medali kehormatan.(mo)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0