MENANTI AKHIR CERITA
Rindu, entah rindu seperti apa yang sedang meradang di hatiku saat ini? Bagaimana jika rindu yang teramat sangat ini adalah rindu pada diriku sendiri yang dulu? Aku merasa kehilangan cinta untuk diriku sendiri. Aku merasa asing pada diri sendiri sekarang.

MENANTI AKHIR CERITA
Oleh. Ayu Fajar Fathonah
Rindu, entah rindu seperti apa yang sedang meradang di hatiku saat ini? Bagaimana jika rindu yang teramat sangat ini adalah rindu pada diriku sendiri yang dulu? Aku merasa kehilangan cinta untuk diriku sendiri. Aku merasa asing pada diri sendiri sekarang.
Menjadi utuh dari dunia orang lain yang runtuh karenaku bukanlah akhir dari yang aku mau. Menjadi bagian dari pandangan seseorang dengan mengalihkan dari tatapan orang lain juga bukan apa yang aku harapkan. Mengapa aku tidak bisa memilih dengan siapa harus menaruh hati. Mengapa aku tidak bisa menapaki jalan yang aku tahu arahnya.
Tidak pernah sedikitpun satu kalimat keluar dari bibirku saat itu.
Entah sebuah penolakan ataupun penerimaan dari garis takdir yang katanya sudah tertulis jelas ditangan ini. Ada banyak masa yang terkadang terbuang secara sengaja. Ada banyak cerita yang sengaja dihilangkan hanya untuk sebuah akhir cerita yang sudah tertulis itu. Mengapa tidak pernah ada penjelasan lain tentang kebersamaan ini selain kata perjodohan.
"Nduk cah ayu, Urip iku ora mung kanggo tresna, nanging uga kudu bisa nguripake awak dhewe lan ngabdi marang liyane".
Suara lirih simbah putri bagai kilatan petir yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan berukuran empat kali empat. Ruangan kosong dengan aroma cat yang masih basah dan tikar baru berwarna hijau muda. Warna kesukaanku. Ruang kamar yang akan dijadikan sebagai kamar sepasang suami istri. Tidak ada sedikitpun ruang kepada lidah untuk berucap, tidak ada cukup kesempatan kepada mata untuk sekedar menitikkan air mata. Libur akhir semester di tahun ketigaku di bangku kuliah ini telah merubah kehidupanku. Merubah Ayu Sekar Putri dari mahasiswi menjadi seorang istri dari Pramulya Kurniawan. Seseorang yang asing dalam dua puluh tahun usiaku, seseorang yang teramat baru dalam lembaran kisah hidupku, nama yang tidak pernah tertulis dalam buku harianku.
"Witing tresno jalaran soko kulino" ucap ibu sembari meneguk secangkir teh tawar panas yang baru aku seduh. Aku memilih mengunci bibir ini rapat-rapat. Membiarkan isi kepalaku berontak. Aku menatap kosong pada dinding ruangan yang baru saja selesai dicat dengan warna ungu. Tiga puluh menit berlalu tidak ada pertukaran kata demi kata dari seorang ibu dan anak perempuanya itu. Pembahasan tentang warna baju, teh yang tersaji di meja, atau sekedar cerita lucu yang aku lalui mungkin hanya akan jadi kenangan. Bahwa mereka pernah sedekat itu dulu. Mereka pernah menjadi seseorang yang teramat santai bahkan untuk hubungan ibu dan anak. Tembok besar itu sudah cukup menjadikanya asing. Gembok-gembok itu telah mengunci rapat hati yang dulu selalu terbuka dan bibir yang selalu tidak kehabisan kata-kata.
"Aku tidak lagi menyukai warna hijau, bu" kalimatku memecah keheningan. Tiga bulan setelah menjadi istri seseorang baru kali ini kalimat itu terlontar jelas. Ini bukan tentang gambaran kalau semua tidak berjalan sesuai dengan garis yang mereka gambarkan. Ini mungkin bagian dari aku yang rindu aku yang dulu. Rindu pada sosok yang ada pada diri sendiri. Rindu pada diri yang selalu tersenyum dan ceria. Rindu pada hati yang selalu teguh pada pendirian.
"Suamimu kemana? Jam segini belum di rumah?", sebuah kalimat yang sebenarnya tidak aku tunggu. Aku menanti komentar ibu mengenai kalimat yang aku lontarkan tadi.
"Ah tetap saja, ibu tidak pernah mau tahu tentang apa yang aku rasakan" ucapaku mengerutu dalam hati.
"Kapan ibu berkunjung ke makam simbah putri?" jawabku pada ibu yang tidak memberikan jawaban dari setiap pertanyaan ibu. Dua sosok dengan isi kepala masing-masing. Tidak pernah berharap warna abu yang kutuang pada canvas gambaran tentang aku dan ibu, namun semenjak pernikahan ini dan kepergian simbah putri warna pelangi yang selalu hadir kini sirna. Abu dan pekat kini yang ada.
Witing tresno jalaran soko kulino, cinta tumbuh karena terbiasa itu benar adanya. Mencintai seseorang yang baru dalam hidup aku bukan sebuah perkara yang sulit apalagi itu suamiku. Mas Pram aku menyebutnya. Sosok suami yang sudah tiga bulan aku jadikan imam dalam hidupku. Aku diam dalam perjodohan ini. Aku memilih untuk menjalani perannya sesuai dengan apa yang mereka buat untuk ceritaku. Aku bahkan sudah menaruh segala rasa dalam peranku ini agar ceritanya menjadi hidup. Aku menjadi tokoh utama dalam kisah ini. Aku menjadi satu-satunya jiwa yang memiliki rasa. Menaruh seluruh cinta untuk sosoknya yang bahkan hatinya tidak pernah aku miliki. Aku menjadi pasangan hidupnya yang entah akan sampai kapan. Aku menempati rumah utuh dari bangunan yang runtuh dari pondasi rumah yang dulu bukan untukku. Aku menjadi wajah yang ditatapnya karena melepaskan pandangan dari sosok lain yang masih lekat di matanya. Aku menjadi makmum yang keberadaanku mengeser sajadah lain dari hidupnya. Aku bahkan malu menatap wajahku sendiri di cermin. Malu menaruh hati pada suamiku yang bahkan enggan untuk memberikan hatinya padaku. Aku malu untuk tersenyum, karena senyumku melukai hati lain.
Kupandangi lekat-lekat ibu yang berjalan pelan meninggalkan rumah ini. Rumah simbah putri yang kini aku tempati. Aku tahu ibu datang kesini bukan hanya tentang rindu pada gadis kecil satu-satunya yang kini sudah menjadi seorang istri. Ibu juga sedang mengenang dirinya masa lampau di rumah ini, dibesarkan sendirian oleh simbah putri dan akhirnya hidup bersama bapak pilihan ibu sendiri dan pergi meninggalkan rumah ini. Ibu harusnya berterima kasih karena aku meggantikan peran ibu yang menolak perjodohan dimasa lampaunya, hingga aku satu-satunya keturunanya yang harus meneruskan tradisi ini.
Kopi hitam pahit tersaji dimeja, ia kini kehilangan panas. Seperti aku yang kehilangan kekuatan untuk tetap terjaga menunggu Mas Pram. Seperti biasa aku tertidur di sofa ruang tengah dan terbangun ketika kumandang adzan subuh menggema. Mas Pram selalu memindahkan aku ke kamar, menyelimutiku, memandang sekilas lalu keluar dari kamar. Aku tahu itu karena aku sering berpura-pura terlelap. Entah apa alasanku tetap berada di sampingnya. Mungkin karena aku mau menemaninya yang hanya sendirian? Tapi sepertinya itu bukan alasanya. Karena aku tahu masih ada sosok wanita lain yang menjadi alasanya belum menyempurnakan hubungan ini.
"Kenapa harus ada pernikahan ini kalau memang bukan aku takdir yang diharapakan?" Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini belum memiliki jawaban yang pasti. Tapi semua penjelasnya cukup menegaskan bahwa dia akan tetap di sampingku, menemaniku dan menjadi imamku. Hingga Tuhan mengizinkan aku berhak atas dirinya sepenuhnya. Tapi kapan? Mungkin semesta akan segera menjawabnya. (mo)
What's Your Reaction?






